PRESPEKTIF

Sebuah cerpen bertema Pendidikan karya siswa SMK 1 Pancasila Ambulu

Namaku Fandi, aku duduk di kelas 12 SMA. Pada dasarnya hidup di keluarga yang kaya sangat menyenangkan bagi kebanyakan orang. Pemikiran itu merupakan kesalahan besar. Realitanya semua anak yang terlahir di keluarga kaya tidak dapat merasakan kasih sayang orang tua. Salah satunya diriku. Ayah merupakan pemilik perusahaan CEO ternama di kota, sedangkan ibu merupakan kepala perawat di salah satu rumah sakit besar yang memiliki jadwal super padat.

Mengatasi rasa kebosanan dan keheningan rumah. Aku ditemani oleh Bibi Marni yang merupakan salah satu asisten rumah tangga yang selalu merawatku dari kecil. Bibi Marni asisten rumah tangga yang paling lama bekerja diantara yang lain. Tak heran Bibi Marni lebih mengenalku.

Pagi ini aku sudah disuguhkan dengan roti bakar selai coklat serta ditemani segelas besar susu sebagai menu sarapan. Lima menit berlalu cepat, perutku sudah keyang dan tinggal menyisahkan piring dan gelas kosong. Bibi Marni menghampiri sembari tersenyum ke arahku.

“Selamat pagi, Nak Andi,”sapa Bibi.

“Selamat pagi juga, Bi,”balasku,”Bi, ibu dan ayah dimana?”

“Ibu sudah berangkat dari tadi, sedangkan ayah belum pulang dari kemarin,”jawabku.

Aku menghela napas berat,”Selalu mereka begitu, tidak pernah sekali memperhatikan anaknya.”

“Nak Andi tidak boleh berbicara seperti itu. Ayah dan ibu Nak Andi selalu bekerja untuk memenuhi kebutuhan Nak Andi.” Bibi langsung duduk di kursi makan dan memegang tangan kananku.

“Tapi apakah mereka tahu perasaanku?”tanyaku.

Mata Bibi begelimang air mata saat menatapku, tanpa menjawab apapun. Jujur saja bibi tak pernah mengeluh merawatku, meskipun umurnya genap 60 tahun. Tapi bibi tak pernah mengambil cuti jika tidak ada keperluan penting

“Bi, aku lanjut beranjak berangkat sekolah dulu. Nanti kalau kelamaan, aku bisa-bisa terlambat masuk kelas,”ujarku memecah atmosfer pecakapan yang membuat air mataku menetes.

***

Bel masuk berbunyi, seluruh siswa masuk kedalam kelas masing-masing. Untung saja aku sudah datang sepuluh menit lebih awal.Pelajaran pertama adalah sosiologi, Pak Toni memasuki kelasku dengan membawa proyektor. Karena hari ini Pak Toni ingin menjelaskan mengenai masyarakat multikultural. Aku menyimak pelajaran dengan saksama, sesekali mengajukan pertanyaan, ketika ada penjelasan yang sulit dipahami. Aku cukup aktif di kelas, karena sering tidak puas dengan penjelasan yang lumayan singkat, dan rasa tingkat keingintahuan yang tinggi.

Setelah pembahasan, Pak Toni mengadakan ulangan harian sebagai bentuk evaluasi materi. Suasana pada saat ulangan dimulai, seluruh siswa nampak hening. Walaupun ada saja teman-temanku yang mencari kesempatan untuk mencontek. Biasanya sih, penghuni bangku belakang yang tak terjamak oleh pandangan Pak Toni.

Bel istirahar bekumandang, berarti waktu ujian sudah usai. Lembar ujian ditarik oleh Pak Toni sembari meninggalkan kelas. Seluruh siswa berbondong-bondong menyerbu kantin dan penjual cilok. Aku yang santai sudah membawa bekal dari rumah, tidak perlu bingung untuk membeli makanan.

“Andi,”suara seseorang memanggil namaku. Kepalaku tertoleh kearah asal suara tersebut. Ternyata Riska menghampiri bangku dengan membawa buku catatannya.

“Iya ada apa Riska?”tanyaku.

“Aku boleh bertanya tentang materi Pak Toni, ada beberapa poin yang belum ku pahami.”ujar Riska.

Aku mengangguk setuju,”Tapi aku sambil makan ya, Ris. Soalnya aku sudah laper.”

“Tidak masalah, aku tidak merasa terganggu.”balas Riska.

Riska adalah temanku yang menginspirasi untuk giat belajar. kita saling berlomba untuk mendapat peringkat satu di kelas. Dia sering dipercaya juga sebagai perwakilan sekolah utuk mengikuti berbagai macam lomba bergengsi, serta aktif berbagai di organisasi. Berbeda dengan diriku yang hanya suka fokus akdemi dan olimpiade saja.

***

Jam sekolah sudah selesai, hasil ulangan sosiologi akhirnya keluar. Bersyukur aku mendapatkan nilai yang sempurna. Paman Budi sudah menungguku di gerebang sekolah. Pak Budi melambaikan tangan sembari tersenyum lebar.

“Selamat siang Pak Budi,”sapaku.

“Selamat siang juga Nak Andi. Bagaimana sekolahnya?”

“Baik kok Pak. Mari Nak kita pulang.”

Mobil melaju ke jalanan kota. Jalan masih terpantau macet, matahari melengser dari posisinya. Suara bising menjadi musik khas perkotaan. Nampak kendaraan berlalu lalang begitu cepat. Asap menyemai di udara kosong yang mengakibatkan bertambahnya tingkat polusi udara. Aku sangat suka mengamati sekitar ketika berada di dalam mobil, karena menunggu di dalam mobil jauh lebih menjenuhkan daripada sendirian di rumah.

Hampir setengah jam, akhirnya aku sudah sampai dirumah. Perjalan dari sekolah ke rumah agak tidak membosankan karena Pak Budi sempat mengajakku mengobrol. Didepan rumah terparkir mobil. Sepertinya ayah sudah pulang. Kesempatan yang bagus untuk menunjukan hasil ulangan sosiologiku. Aku berjalan masuk ke dalam rumah, dan melihat ayah sedang mengutat laptopnya.

“Ayah sedang sibuk?”tanyaku.

Ayah mengangguk tanpa sedikit menoleh ke arahku,”Ada apa, Nak? Apa ada sesuatu hal yang penting untuk dibicarakan?”

“Aku ingin …”Percakapanku terputus, karena terganggu dengan suara nada dering telepon ayah berbunyi tiba-tiba. Pasti panggilan dari kantor.

“Maaf ya Nak, Ayah ada telepon sebentar. Ayah masih benar-benar Sibuk. Kamu bisa ceritakan itu pada ibumu.”saran ayah yang selalu sama ketika aku ingin mengajaknya berbicara berdua.

Ibu berjalan menghampiri kami dengan raut muka kesal,”Ayah, kamu seharusnya beri Andi kesempatan untuk berbicara berdua denganmu.”

“Kamu tahukan, aku ini sibuk dengan bisnisku. Disini tugasku hanya mencari uang untuk keluarga, sementara tugasmu memperhatikan anak kita. Bukan malah ikut sibuk dengan pekerjaan juga,”bentak ayah pada ibu.

“Ya tidak begitu, Yah.”sanggah ibu.

Aku benar-benar kaget, karena baru pertama kali ini melihat ayah dan ibu bertengkar karena urusan yang sepele. Apakah ini salahku, sebab mengajak ayah mengobrol. Mereka saling menyalahkan dan beradu kebenaran. Suara keras pertengkarannya, membuatku ketakutan,cemas, dan mengganggu pendengaran. Aku langsung beranjak berdiri, berlari menuju kamar, karena sudah muak.

Di kamar aku duduk meringkuk diatas kasur dengan kepala tertunduk. Tak selang berapa lama. Bibi datang membawakan makan siang, Raut muka Bibi menunjukan kekhawatiran yang nampak jelas.

“Nak, kamu tidak apa-apa?”tanya Bibi memastikan keadaanku.

Aku menggelengkan kepala,”Aku sangat takut Bi.”

“Sabar ya Nak, Mungkin Ibu sama Ayah kamu sedang kelelahan bekerja.”ujar Bibi menenangkan driku yang sudah separuh ketakukan.,

***

Setengah tahun berlalu begitu cepat, keadaanku tak begitu baik-baik saja, dimulai dari kehilangan semangat, tidak bedah tinggal dirumah, bahkan pernah membolos beberapa hari tanpa keterangan. Itu semua aku lakukan karena ingin mendapatkan perhatian. Tapi itu percuma saja, tidak ada tanggapan atau respon dari mereka.

Malam ini aku tak bisa tidur karena suara gaduh kembali terjadi di kamar ibu dan ayah. Aku tak tahu apa yang mereka sedang perdebatan, tapi itu sudah sangat mengganggu. Awalnya aku mengira rumah menjadi tempat yang nyaman meskipun tidak dapat perhatian orang tua, sekarang aku tarik pemikiran tersebut, karena sudah tidak ingin tinggal di rumah ini lagi. Meskipun Bibi akan bersikukuh untuk menyakinkan diriku agar tidak kabur.

Aku sudah sangat banyak tertinggal materi, sebab itulah aku malas untuk bersekolah. Tapi sudah terlanjur janji sama bibi agar besok aku berangkat sekolah. Aku membaringkan badan diatas kasur sembari melihat langit-langit seraya berpikir untuk memilih untuk berangkat sekolah atau tidak.

Pagi harinya, aku melakukan rutinitas keseharian yang udah jarang dilakukan yaitu sarapan. Semenjak kondisi ku menurun, nafsu makan ku perlahan menghilang akibat ditelan oleh kesedihan  yang berlarut kepanjangan. Bibi datang menghampiri dengan membawakan sarapan favoritku seperti biasa. Senyuman kenali terbingkai rapi di wajahnya. Seketika seperti ada penarik untuk membuat api semangat untuk berkobar kembali.

“Selamat pagi, Nak Andi. Wah udah siap berangkat sekolah,”ujar Bibi.

“Iya, ini juga demi bibi dan hutang janjiku.”

“Jangan cemberut gitu. Ayo dimakan mumpung masih hangat.”

Ketika hendak bersiap untuk berangkat, bibirku mencuat pertanyaan,” Bi, bagaimana aku nantinya bisa memahami materi di sekolah? Aku” Entah aku mencomot pertanyaan itu pada udara kosong.

“Jangan khawatir, Nak Andi-kan pintar. Lagipula Nak Andi ada Nak Riska yang dapat bantuin,”jawab Bibi Marni. Semoga aja Riska mau menolong ku untuk memahami materi yang ketinggalan.

Sesampainya dikelas. Ribuan mata menatapku dengan tatapan yang tidak mengenakkan,sembari ada yang bebisik lirih sedang membahas sesuatu, sepertinya mereka membahas mengenai aku. Jam pelajaran pertama yaitu matematika diisi oleh wali kelasku sendiri. Bu Tina masuk membawa penggaris panjangnya. Aku merasa tak enak hati untuk bertatap muka langsung dengan Bu Tina.

“Selamat pagi ank-anak,”sapa suara Bu Tina yang lembut.

“Selamat pagi juga, Bu,”balas semua tema-teman kecuali aku yang duduk termenung dengan kepala tertunduk.

Bu Tina menghampiriku,”Andi, akhirnya kamu masuk. Kemana saja selama ini?”

Aku tidak menjawab sepatah katapun, karena aku tak ingin menceritakan pertengkaran orangtuaku. Itu sangat memalukan jika semua teman-teman sekelas tahu.

“Maafkan Ibu Andi. Mungkin kita bisa berbicara selepas pulang sekolah.” Bu Tina berjalan menjauh.

Aku hanya membalas menggangguk.

***

Bel pulang berbunyi, aku sudah berada dikantor Bu Tina. Hari pertamaku masuk sekolah, setelah hilang dari peradaban. semua guru yang masuk di kelas hari ini, sebagian ada yang menghawatirkan keadaanku, ada pula yang memaharahiku karena dikira aku mulai nakal. Padahal mereka tak tahu kondisiku saat ini sedang depresi karena semua yang ku lakukan memicu pertengkaran.

Langkah kaki Bu Tina masuk ke dalam ruangan, tapi suara itu tidak hanya satu tetapi aku mendengarkan ada beberapa suara langkah kaki yang lain. Kepalaku tertolehkan kebelakang. Ternyata di belakang Bu Tina ternyata ada ibu dan ayah. Haduh … matilah aku, pasti ada pertengkaran hebat.,

Ibu dan ayah mulai duduk disampingku. Wajah mereka nampak gelisah setelah mendapat panggilan dari sekolah. Bu Tina membawa rapor hasil penilaian semester ganjil.

“Andi, maaf ibu harus memanggil orang tuamu untuk memberitahukan hasil belajarmu yang sangat menurun. Orang tuamu harus mengetahui ini.”

“Maaf Bu. Apakah Andi sering tidak masuk sekolah?”tanya Ibu.

“Andi sudah alpha sebanyak 10 kali, Bu.”jawab Bu Tina.

“Bagaimana dengan nilainya, Bu?”tanya Ayah.

“Bapak bisa lihat rapornya.” Bu Tina membuka raportku. Bertapa kejutnya seluruh nilai mata pelajaranku merah semunya. Mata Ayah melotot, pasti ayah sangat marah, dan ibu merasa kecewa, tserta terpukul.

“Astaga Andi! Kenapa nilaimu kayak begini, kamu bisa belajar yang beneratau tidak sih. Kenapa nilaimu merah semuanya, ha? Ayah sudah capek kerja menyekolahkanmu dangan mengikuti les.”bentak Ayah.

Astaga ayah menyalahkan dan menegurkuku tanpa memikirkan kondisiku sekarang. Aku beranjak meninggalkan ruangan dengan perasaan kesal. Semuya tak memahami apapun. Aku hanya ingin diperhatikan. Aku begini karena ayah dan ibu sering bertengkar dan sesekali merencanakan untuk bercerai. Terus bagaimana dengan nasibku. Aku tak ingin memilih salah satu daroi mereka.

Awan mulai mendung, mendakan langit sesdang ikut bersedih bersamaku. Di kolidor aku sedang melihat Riska sedang membaca buku. Aku mulai menghampirinya. Mungkin saja, perasaan ku akan membaik.

“Riska!”sapaku.

“iya ada apa?”tanya Riska.

“Apa kamu ada waktu? Aku ingin ngobrol bersamamu,”

“Maaf ya, aku tidak ada waktu untuk mengobrol saat ini. Aku ada perlombaan dalam waktu dekat,”tolaknya.

Raut wajahku kecewa,”Oh, tapi kamu ada waktu luang lain untuk membantuku unutuk memahami beberapa materi yang tertinggal?”

“Sudah aku bilang, aku tidak bisa Andi,”bentaknya,”Sudahlah, kamu menggangu waktuku. Kamu bisa meminjam catatan milik teman-teman lain.” Riska berjalan menjauh.

Perasaanku benar benar sangat hancur, malangnya diriku taka ada orang yang dapat ku percayai, bahkan sahabatku sepertinya sudah menghianatiku., dia hanya membutuhkanku disaat dia perlu. Dikala ku sedang butuh teman untuk menyemangatiku. Dia malah pergi tanpa menghiraukan sedikitpun.

Aku berjalan tanpa arah seperti orang linglung yang tidak bersemangat hidup. Angin berhembus sangat kencang, dan awan hitam menggulung tebal. Terdengar suara klankson kencang dari kejauhan. Lamunanku tersadar, bahwa aku berjalan hingga menuju jaran raya. Seketika segalanya hitam, hingga ku taksadarkan lagi. Segalanya sudah berakir untuk hidupku, mungkin ini adalah pilihan terbaik buatku.

Eh….

Mataku mencelik, dan terbangun diatas kasur. Apakah ini sebuah mimipiku? Ataukah kesempatan keduaku untuk memperbaiki prespektiku terhadap semua tindakan yang telah kupilih.

Apakah aku dapat membuat takdir baru?

Ataukah semua itu akan terjadi lagi

TAMAT

Penulis : Ilham Arta Setyadi (XII AKL 4)